Rabu, 21 Desember 2011

Lika - Liku Mengangkat Citra Lele

Sudah saatnya citra buruk lele dicabut. Pasalnya, hampir semua usaha pembesaran lele dilakukan secara terstandar. Apalagi lele merupakan sumber protein hewani termurah.
Lantaran bersifat omnivora, alias pemakan segala, ikan lele acapkali disuguhi pakan tak bermutu. Mulai dari sampah dapur, bangkai, penganan kadaluarsa, kotoran ternak, bahkan kotoran manusia. 
Ditambah lagi, ikan asli Afrika ini termasuk kategori tahan banting sehingga dibudidayakan dengan perawatan dan kondisi air ala kadarnya. Alhasil, ikan berkumis ini dicap ikan rendahan, menjijikkan, ikan comberan, bahkan ikan septic tank. Tak heran, sebagian konsumen merasa enggan melahap menu lele.
Sejatinya, kandungan gizi lele cukup mumpuni. Menurut Dr. Achmad Subagio, Dosen Teknologi Pertanian, Universitas Jember (UNEJ), dalam laman UNEJ, mengungkap, "Protein lele sangat tinggi, sekitar 20%. Kandungan minyak tak jenuhnya juga tinggi sehingga sangat mendukung metebolisme dalam tubuh.
” Selain itu, lanjut dia, daging lele bisa merangsang perkembangan otak anak. Di sisi lain, dengan harga beli yang tak akan menguras kantong, lele adalah pilihan tepat sumber protein hewani.
Bahkan pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun memasukkan lele dalam daftar ikan yang akan digenjot produksinya. Sistem budidaya terstandar dan festival lele gencar dikumandangkan untuk melunturkan citra buruk lele.
Produksi Digenjot
Menurut Iskandar Ismanadji, Direktur Produksi Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya, KKP, secara statistik produksi lele terus naik tiap tahun. Dari catatannya, pada 2008, angkanya baru 114.372 ton, sedangkan 2009 sudah mencapai 200 ribu ton.
Tahun ini produksi lele ditargetkan akan berada di kisaran 270 ribu ton. Bahkan, pada 2014 produksi lele diplot menembus angka 900 ribu ton atau naik 353% dibandingkan produksi 2010.
Untuk merealisasikan target tersebut, pihaknya mengaku telah melakukan kontrak produksi dengan pemerintah daerah. “Jadi tiap pemda ditarget dengan kontrak produksi untuk menaikkan produksi perikanan budidaya. Ini berdasar hasil rakornas. Jika target produksi meleset, akan diminta pertanggungjawaban,” ungkap Iskandar.
Selain itu, KKP juga siap menggelontorkan paket-paket usaha lele dan menggandeng sarjana perikanan nganggur untuk berwirausaha lele. 
Setiap paket berupa sarana produksi yang senilai sekitar Rp7 juta. Rinciannya, 6.000 ekor benih, 720 kg pakan, dan kolam terpal ukuran 4 m x 6 m dengan kedalaman 1 m. “Paket ini dikhususkan bagi masyarakat yang berminat mengusahakan lele. Untuk yang sudah mengusahakan lele, akan kami berikan jenis paket usaha lain,” papar Iskandar.
Saat ditanya alasan mengapa lele begitu besar dipacu produksinya, imbuh dia, cara budidaya yang mudah dan singkat menjadi pertimbangan. “Cerita Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dengan keberhasilannya memproduksi lele ‘kan selalu muncul. Daerah kering yang tidak kebayang untuk budidaya ikan, sekarang menjadi pemasok lele,” katanya.
Lunturkan Citra
Lalu, bagaiman cara budidaya yang baik agar citra buruk lele luntur? “Mestinya cara budidaya ikan yang baik yang disusun KKP diterapkan. Salah satunya dengan memberi pakan yang baik,” ungkap Aminto Nugroho, Head of Sales Aquafeed Operation PT Suri Tani Pemuka, produsen pakan ikan dan udang di Jakarta.
Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Sinta Prima Feedmill, juga produsen pakan ikan, menambahkan, usaha pembesaran lele seharusnya tak hanya dijadikan kegiatan sampingan. 
Tapi, “Harus diusahakan serius, dipelihara di tempat yang ada sumber air, dikasih pakan, mendapatkan bibit sesuai dengan budidaya terstandar. Itu yang baik dan benar,” cetusnya.
Dari pengamatan Anang, kualitas dan kuantitas lele yang dihasilkan akan sangat njomplang, antara yang diberi pakan dan limbah. Selain itu, siklus budidaya juga lebih lama jika hanya diberi limbah. “Misalnya di comberan, hanya memakan limbah rumah tangga. Mungkin enam bulan belum panen. Karena nggak dapat makanan apa-apa. Kalau dikelola serius, paling hanya dua bulan sudah panen,” jelasnya.
Hal itu diamini Aken Hafian, pengusaha lele di Gunung Sindur, Parung, Bogor, yang menggunakan pakan pabrik. Lantaran pakan sudah diformulasikan sesuai kebutuhan ikan, ia membuktikan, pertumbuhan lelenya sangat cepat. Selain itu, ukuran panen juga jadi seragam. 
“Karena ini bisnis, maka kita mencari patokan terpola. Salah satunya dengan penggunaan pakan pabrik. Kita jadi bisa memprediski berapa kebutuhan pakan dan berapa besar hasil panen kita nanti,” ujar pemilik CV Jumbo Binta Lestari (JBL) ini.
“Pembudidaya lele memang wajib menerapkan cara budidaya yang baik dan terstandar. Sekarang kita mulai melakukan sertifikasi untuk budidaya lele. Kita akan berikan sertifikat kalau cara budidayanya sesuai dengan kriteria,” tambah Iskandar.
Kolam dan Strain
Selain pakan, dalam cara budidaya terstandar, hal yang mesti diperhatian adalah lokasi dan sumber air. Meski secara alami lele dapat hidup dalam kondisi air minim, tapi sebaiknya lokasi tak boleh jauh dari sumber air.
“Air yang digunakan untuk usaha pembesaran harus memenuhi syarat, dalam arti kandungan kimia dan fisika harus layak. Bebas dari pencemaran dan tersedia sepanjang waktu,” tutur Ahmad Jauhari Pamungkas, peneliti Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi.
Sedangkan untuk pemilihan lokasi budidaya, Dian Rahmadani, Kepala Divisi Budidaya JBL berbagi pengalaman. Menurutnya, lokasi ideal lele adalah daerah dengan suhu di atas 27ÂșC. Pasalnya, “Kita pernah coba di daerah tinggi dengan suhu lebih rendah. Pertumbuhannya tidak maksimal, panennya jadi lebih lambat,” beber jebolan Faperikan IPB ini.
Setelah lokasi, selanjutnya adalah jenis kolam. Setidaknya ada tiga pilihan jenis kolam, yaitu kolam tanah, terpal atau beton. Kesemuanya memiliki kelebihan tersendiri. Misalnya saja, Yulianto, pengusaha lele di Desa Ngranti, Boyolangu, Tulungagung, Jatim, lebih memilih menggunakan kolam terpal. Alasannya, karena lebih mudah dan cepat dibuat serta praktis.
Sementara H. Carmin Iswahyudi alias H. Mamin, pembudidaya lele dari Losarang, Indramayu, memilih menggunakan kolam tanah. Begitu pula Aken, yang telah mencoba ketiga jenis kolam, tapi menganggap kolam tanah lebih pas, “Kita mengondisikan seperti habitat asli. 
Kolam tanah juga mempercepat penetralan suhu lingkungan. Tapi memang perawatannya ekstra,” terang pemilik kolam seluas 15 ha ini.
Selain jenis kolam, menurut Ahmad Jauhari Pamungkas, benih juga menentukan kualitas dan kuantitas panen. Dari pengamatannya, benih berkualitas berasal dari induk berkualitas pula. 
 Karena itu, ia menyarankan pembudidaya membeli benih dari tempat pembenihan yang mendapat rekomendasi pemerintah. ”Benih yang baik bisa berasal dari hasil rekayasa genetika, misalnya lele Sangkuriang,” ujarnya. 
Padat tebar pun wajib menjadi perhatian khusus. Biasanya pembudidaya memilih padat terbar 100 ekor per m² dengan ukuran benih 7—11 cm.
Bagi yang ingin mengejar produksi, dapat memilih kepadatan 200—300 ekor per m². “Kita beri probiotik, itu bagus untuk mengantisipasi agar benih tidak mudah stres. Ini juga untuk menangkal penyakit,” ucap Yulianto menambahkan. 
Potensi Pasar
Setelah budidaya dilakukan terstandar, langkah selanjutnya meyakinkan konsumen bahwa lele bukan lagi ikan yang tidak higienis. 
Berbicara potensi besaran daya serap lele, Sadullah Muhdi punya pendapat sendiri. Menurut Direktur Pemasaran Dalam Negeri, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, KKP ini, lele adalah sumber protein hewani yang relatif murah sehingga semua lapisan masyarakat mampu menyerapnya.
“Jadi jika kita berbicara mengenai pemasaran, Potensinya sangat besar. Sebab seperti diketahui, jumlah penduduk kita bisa mencapai 230 juta dan itu potensinya yang sangat besar,” ucap Sadullah. 
Kenyataan tersebut didukung data tingkat konsumsi ikan yang terbilang rendah. Menurut Sadullah, nominalnya baru 30,2 kg per kapita per tahun atau di bawah nilai pola pangan harapan sebesar 31,4 kg per kapita per tahun. “Jumlah penduduk, plus kesenjangan antara tingkat konsumsi sekarang, berarti itu potensi pasar yang sangat luar biasa. Sehingga tidak perlu ada kekhawatiran terhadap pasar,” tegasnya.
Guna lebih gencar menjaring dan menyakinkan konsumen, Sadullah dan jajarannya mengaku telah menyusun banyak strategi. 
 Sebut saja program depo pemasaran dan program One Village One Market. Selain itu, ia juga akan intensif mengadakan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan alias Gemarikan. Sosialisasi dengan ibu-ibu PKK dan Posyandu juga akan semakin kencang dilaksanakan. 
Pihak swasta tak mau ketinggalan, langkah positif dilakukan PT Matahari Sakti (MS). Perusahan pakan di Surabaya ini rutin menerbitkan buletin kepada masyarakat. “Di situ disampaikan kandungan gizi dari ikan, cara memasak ikan, untuk lebih meningkatkan selera makan ikan,” jelas Hidayat Priyo Utomo, Sales Manager Fish Division MS. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar