Meskipun terkesan seperti tidak rasional, akan tetapi niat baik dari Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam meningkatkan produksi perikanan sebesar 353% pada tahun 2014 dan menjadikan Indonesia sebagai negara produsen perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015 haruslah kita dukung bersama.
Bukan hal yang mustahil jika semua stakeholder perikanan dapat saling berpangku tangan dalam menjalankan niat baik pemerintah ini. Terlebih dengan latar belakang kekayaan sumber daya perairan Indonesia yang sangat luas, sangatlah mungkin untuk mencapai target Kementrian Kelautan dan Perikanan tersebut.
Langkah-langkah strategis pun diambil pemerintah untuk mencapai tujuan itu. Salah satunya dengan adanya program minapolitan yang bertujuan menggenjot produksi perikanan daerah, serta dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi untuk ikan-ikan komoditas unggulan tertentu seperti udang, bandeng, kerapu, rumput laut, kakap putih, bawal, nila, lele, patin, gurami, ikan mas, dan kepiting.
Untuk beberapa spesies, peningkatan produksi komoditas unggulan ini sudah mulai terlaksana. Contohnya banyak pembudidaya yang berbondong-bondong membudidayakan ikan lele, karena selain pasarnya yang masih relatif bagus juga karena pemeliharaannya yang relatif tidak sulit.
Atau banyak pembudidaya yang kembali menebar udang di tambaknya karena harganya yang mulai membaik, meskipun masih di hantui oleh virus IMNV yang akhir-akhir ini menyerang komoditas udang dan merugikan para petambak udang.
Melihat strategi pengembangan komoditas unggulan ini, kita seakan diingatkan pada masa Revolusi Hijau yang pernah booming di dunia ini beberapa dekade ke belakang, terutama untuk kasus di Indonesia. Meski Revolusi Hijau ini pernah mengantarkan Indonesia menjadi negara swasembada pangan, akan tetapi kondisi itu tidak mampu bertahan dalam waktu yang lama yaitu hanya pada tahun 1984-1989.
Hal ini disebabkan selain karena dari sisi manajemennya yang tidak menguntungkan bebrapa bagian terutama para petani kecil, kegalan program ini juga disebabkan oleh penekanan pada penyeragaman penggunaan bibit unggul hasil rekayasa genetika tanpa diseimbangi oleh komoditas lokal.
Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebih untuk meningkatkan produksi berdampak pada peningkatan kekebalan hama, sehingga yang terjadi bukannya penurunan hama melainkan peningkatan volume hama. Keganasan serangan hama ini semakin menjadi ketika semua petani-petani yang ada menggunakan jenis tanaman yang sama.
Jika diperhatikan, pengembangan komoditas unggulan dalam kegiatan akuakultur tidak ubahnya seperti konsep Revolusi Hijau tersebut, yaitu penggunaan bibit unggul yang seragam untuk setiap komoditasnya. Hal ini sebenarnya sudah mulai menyisihkan ikan-ikan potensial lainnya yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia, termasuk ikan-ikan endemik Indonesia yang umumnya sudah tetrbiasa dengan kondisi lingkungan yang ada.
Bahkan mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik akibat perkembangan sistem imun yang terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan tingkat keganasan (patogenitas) agen penyakit (virus, bakteri, jamur) yang ada. Ironisnya, beberapa komoditas yang digunakan dalam program KKP ini adalah komoditas introduksi dari habitat-habitat di luar Indonesia, seperti udang vanname dan lele dumbo, yang notabene masih asing dengan penyakit-penyakit yang berkembang di Indonesia.
Keberadaan ikan-ikan introduksi tersebut telah menyishkan ikan-ikan lokal dan ikan-ikan yang sudah lama dikembangkan di Indonesia. Katakanlah seperti ikan tambakan. Ikan konsumsi ini sudah lama dibudidayakan di Indonesia terutama di daerah priangan timur.
Ikan ini merupakan jenis ikan konsumsi yang dapat dikatakan potensial, karena tekstur dagingnya yang tebal dan durinya yang jarang.
Akan tetapi saat ini ikan-ikan ini sudah mulai jarang terlihat, bahkan di daerah yang dulunya banyak dikembangkan. Begitu juga dengan ikan-ikan lain seperti ikan nilem, tawes, baung, lele lokal, yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia.
Walaupun beberapa diantaranya memilki kekurangan, seperti ikan lele lokal yang tingkat pertumbuhannya realtif lambat dibandingkan dengan lele dumbo atau lele sangkuriang. Akan tetapi lele ini memiliki kelebihan pada dagingnya yang lebih empuk daripada lele lainnya.
Keberadaan lele lokal juga sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem terutama siklus penyakit yang menyerang komoditas lele. Jika saja ada suatu penyakit/virus yang menyerang ikan lele dumbo atau sangkuriang yang menyebar secara cepat, maka berapa kerugian yang akan terjadi.
Bukan hal mustahil juga jika ternyata ikan lele dumbo atau sangkuriang ternyata tidak mampu lagi bertahan dengan patogen-patogen yang ada. Akan buruk lagi ketika lele lokal juga sudah punah atau langka karena sudah mulai ditinggalkan para pembudidaya.
Sehingga alangkah baiknya jika keberadaan ikan-ikan endemik dan ikan-ikan yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia tetap dijaga keberadaannya meskipun hanya dibudidayakan dalam jumlah yang relatif sedikit, setidaknya untuk menjaga eksistensi ikan-ikan tersebut dan substitusi ketika komoditas-komoditas unggulan mengalami kemunduran kualitas dan kuantitas.
Sangat baik pula jika pemerintah mampu menyediakan sebuah wadah untuk menjaga eksistensi ikan-ikan endemik dan ikan-ikan budidaya lainnya yang sudah mulai jarang dibudidayakan agar tidak ada lagi kata punah untuk ikan-ikan endemik. Jangan sampai kemajuan perikanan kita seperti Revolusi Hijau, hanya mengantarkan pada kejayaan sesaat saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar