Nasrudin tersenyum. Ia mengaku terkadang malu sendiri karena kini bisa dengan mudah keluar masuk hotel berbintang. ''Undangan mengalir dari berbagai daerah dan disambut para pejabat,'' katanya,'' Padahal saya ini hanya tukang lele yang biasa tinggal di saung (gubuk).''
Ia sudah membuktikan motto yang jadi pegangannya: Kalau ilmu dan keterampilan sudah dimiliki, tak usah lagi mencari modal. Kini ia tinggal memetik hasil dari keterampilannya membudidayakan lele sangkuriang.
Sehari-hari Nasrudin tetap bersahaja, tampil apa adanya.
Kini ia mengaku punya tujuan hidup yang lebih jauh. ''Kalau harta yang dituju mudah saja, tapi saya tidak berpikir itu. Saya akan puas ketika melihat rekan-rekan yang sudah dibina kini sukses,'' ungkap Nasrudin yang ditemui Republika di markasnya yang asri di Gadog, Megamendung, Kabupaten Bogor.
Jadi prioritas
Terkadang Nasrudin tak percaya dengan hasil yang kini diraihnya. Gara-gara bergelut dengan ikan bermartil, kini dia mendapat gelar Maestro Lele Sangkuriang. Padahal, pendidikan formal, SD pun tak tamat. Berkat keahliannya itu, Nasrudin kini diburu untuk membagi ilmu ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan komunitas dari negeri jiran hingga Timur Tengah mengundangnya untuk berbagi ilmu. Tapi, pria berusia 62 tahun ini lebih tertarik mengamalkan ilmu di Tanah Air.
Tak hanya keliling daerah, di rumahnya yang sejuk setiap hari mengalir tamu ingin menimba ilmu tentang lele. Dari petani hingga konglomerat, dari kopral hingga jenderal berebut mengorek ilmu yang dimiliki pria yang acap disapa Abah Lele itu. Para mahasiswa jurusan Perikanan pun berseliweran di sekitar kolamnya 'mencuri' pengetahuan.
Untungnya, Nasrudin tak pernah irit berbagi pengetahuan. Nasrudin memang mengobral ilmu. Kepada siapa pun dia iklas membagikan keterampilan lele sangkuriang yang sudah digeluti sejak 2001.
Namun ,dia memiliki skala prioritas. Petani biasa, korban PHK, dan para pengangguran lebih diutamakan. Alasannya, mereka lebih membutuhkan dibandingkan kalangan sukses yang sudah bisa membuka lapangan kerja sendiri.
Selain itu, Nasrudin bisa merasakan bagaimana menjadi pengangguran yang pernah ia lakoni selama dua tahun. Masa-masa itu amat menyedihkan.
''Ketika ada yang membantu hanya bisa dijawab dengan air mata,'' kenang ayah dari empat putri ini.
Oleh karena itu, dia bertekad lebih mengutamakan mereka yang membutuhkan dari pada kalangan mapan. Nasrudin menolak halus undangan para pejabat, bahkan jenderal ketika ia tengah mengajar para petani, korban PHK, pengangguran di saungnya.
Hidup di mana saja
Lele sangkuriang berbeda dengan lele umumnya. Jenis ini hasil pengembalian genetik. Nasrudin mendapat bibit awal dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi, Jawa Barat. Dia tak menyadari larva yang diberikan itu adalah calon induk.
Ketika dijual ke petani mereka antusias karena cepat besar. Dari mulut ke mulut lele Abah Nas menjadi dikenal. Padahal, jenis lele yang dikembangkannya itu belum bernama. Iseng Nasrudin menyebutnya Lele Sangkuriang. Akhirnya tahun 2003, Menteri Kelautan dan Perikanan, saat itu Rokhmin Dahuri mengukuhkan nama tersebut.
Sebelum ke lele, Nasrudin pernah memelihara ikan mas, nila, dan jenis ikan air tawar lainnya. Namun, kemudian ia memfokuskan pada lele sangkuriang. Alasannya, lele itu cepat menghasilkan, mudah pemasarannya, juga bisa dipelihara di berbagai penjuru Indonesia. Teorinya lele hanya bisa hidup di suhu normal.
Pria kelahiran 1948 ini meneliti dan mempelajarinya sehingga lele sangkuriang bisa hidup dimana pun. Dia telah membuktikan di beberapa daerah pegunungan (suhu rendah) bisa menghasilkan lele yang melimpah. Di kawasan Kalimantan yang airnya cokelat keruh, lele sangkuriang bisa hidup dengan baik.
''Selama menerapkan ilmu serta mengurus lele dengan benar, di mana pun lele sangkuriang ditanam akan hidup dan menghasilkan,'' paparnya.
Tak hanya hasil budi dayanya yang luar biasa, rasa lele sangkuriang pun sangat nikmat. Republika mendapat kesempatan mencicipi lele goreng kering dengan sambal dan nasi hangat di saung Nasrudin. ''Baru ada kan lele rasa udang,'' kelakar pria yang mendapat pangkat 'etkol' alias letnan kolam ini.
Nasrudin buka rahasia, salah satu kelezatan lele sangkuriang berkat pakanan yang terpilih. Tidak boleh sembarang. Namun, makanan itu alami. Sudah menjadi pedoman Nasrudin menyingkirkan segala jenis bahan pengawet, zat kimia, baik di kolam maupun lele. Lele di kolamnya tak ada yang disuntik. Kolamnya pun tidak pernah dibersihkan dengan formalin.
''Lele sangkuriang adalah ikan air tawar organik. Gurih, nikmat dan menyehatkan, karena kaya kandungan Omega 3 yang bermanfaat untuk kecerdasan,'' kata Nasrudin.
Hingga kini Abah Lele, begitu ia acap disapa, sudah membagikan ilmunya kepada ribuan orang di seluruh Indonesia. Masih ada beberapa daerah terpaksa masuk daftar tunggu belum sempat disambangi. Karena kesibukan serta kegiatan rutin setiap Jumat hingga Ahad pagi memberi pelatihan budidaya lele Sangkuriang di saungnya.
Tidak peduli konglomerat, pejabat ataupun pengangguran selama tiga hari digembleng di saung Abah. Ada yang dari Jabodetabek, Jawa Tengah, Sumatra. Beragam profesi, anggota TNI, mahasiswa, pengusaha, petani, maupun pengangguran. Lulus atau tidaknya sang siswa dilihat dari telur lele yang dikembangkan, apakah bisa menetas atau tidak. Dites juga hasil lele gorengan, jika gurih dan lezat.
pak nasrudin saya ingin belajar mmbudidaya lele dan saya belajar sama bpak, bolehkah saya minta alamat dan no telepon bapak.?
BalasHapusSejarah yang bagus, dari kami penjual kursi tamu
BalasHapus