Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau Jawa. Pengembangan usaha budidaya ikan ini semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985.
Peningkatan tersebut dapat terjadi karena ikan lele dumbo dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, modal usahanya relatif rendah karena dapat menggunakan sumber daya yang relatif mudah didapatkan, teknologi budidayanya relatif mudah dikuasai masyarakat dan pemasaran benih dan ukuran konsumsinya relatif mudah.
Perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung oleh kontrol yang baik terhadap penggunaan induk telah mengakibatkan terjadinya perkawinan sekerabat (inbreeding) yang tinggi.
Perkawinan sekerabat ini telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan perrtumbuhan ikan yang ditandai oleh adanya penurunan pertumbuhan pada produksi pembenihan dan pembesaran.
Hasil evaluasi fluktuasi asimetri terhadap benih yang berasal dari Sleman, Tulung Agung dan Bogor menunjukkan telah terjadi peningkatan ketidakstabilan pertumbuhan lele dumbo yang ditandai dengan tingginya tingkat asimetri dan abnormalitas (Nurhidayat, 2000).
Sedangkan menurut Rustidja (1999), pada awal masuk ke Indonesia, pembudidaya lele dapat menghasilkan ukuran konsumsi hanya dalam waktu 70 hari dari ukuran benih 3-5 cm, namun dengan pola budidaya yang sama, ukuran konsumsi baru dapat dicapai setelah pemeliharaan lebih dari 100 hari.
Untuk mendekatkan kembali mutu benih lele dumbo saat ini kepada mutu asalnya, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan pada proses produksi induk lele dumbo.
Perbaikan mutu lele dumbo dapat dilakukan dengan beberapa strategi, antara lain dengan cara seleksi, hibridisasi, silang-balik, ginogenesis maupun transgenik (Rustidja, 1999).
Peningkatan mutu dengan silang-balik dilakukan pada lele dumbo, mengingat sebagai ikan hibrida yang introduksi ke Indonesia, tanpa disertai dengan induk murninya, sehingga tidak dapat dilakukan proses hibridisasi.
Proses silang-balik dilakukan dengan cara mengawinkan induk lele yang ada saat ini dengan tetuanya sehingga walaupun program ini termasuk proses silang-dalam namun dapat mendekatkan kembali variasi genetik yang dipunyai tetuanya.
Rustidja (1999) menyarankan untuk melakukan perkawinan induk saat ini dengan generasi pertama hingga generasi ketiga.
Upaya perbaikan tersebut telah dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi sejak tahun 2000 dan telah menghasilkan lele SANGKURIANG yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik.
Hasil perekayasaan ini menghasilkan “Lele SANGKURIANG” yang sudah dilepas sebagai varietas unggul dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/MEN/2004 tanggal 21 Juli 2004.
Lele SANGKURIANG memiliki fekunditas dan pertumbuhan yang lebih tinggi serta tingkat konversi pakan yang lebih rendah dibandingkan dengan lele SANGKURIANG yang saat ini beredar di masyarakat (Tabel 1).
Peningkatan tersebut dapat terjadi karena ikan lele dumbo dapat dibudidayakan pada lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar yang tinggi, modal usahanya relatif rendah karena dapat menggunakan sumber daya yang relatif mudah didapatkan, teknologi budidayanya relatif mudah dikuasai masyarakat dan pemasaran benih dan ukuran konsumsinya relatif mudah.
Perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung oleh kontrol yang baik terhadap penggunaan induk telah mengakibatkan terjadinya perkawinan sekerabat (inbreeding) yang tinggi.
Perkawinan sekerabat ini telah menyebabkan terjadinya ketidakstabilan perrtumbuhan ikan yang ditandai oleh adanya penurunan pertumbuhan pada produksi pembenihan dan pembesaran.
Hasil evaluasi fluktuasi asimetri terhadap benih yang berasal dari Sleman, Tulung Agung dan Bogor menunjukkan telah terjadi peningkatan ketidakstabilan pertumbuhan lele dumbo yang ditandai dengan tingginya tingkat asimetri dan abnormalitas (Nurhidayat, 2000).
Sedangkan menurut Rustidja (1999), pada awal masuk ke Indonesia, pembudidaya lele dapat menghasilkan ukuran konsumsi hanya dalam waktu 70 hari dari ukuran benih 3-5 cm, namun dengan pola budidaya yang sama, ukuran konsumsi baru dapat dicapai setelah pemeliharaan lebih dari 100 hari.
Untuk mendekatkan kembali mutu benih lele dumbo saat ini kepada mutu asalnya, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan pada proses produksi induk lele dumbo.
Perbaikan mutu lele dumbo dapat dilakukan dengan beberapa strategi, antara lain dengan cara seleksi, hibridisasi, silang-balik, ginogenesis maupun transgenik (Rustidja, 1999).
Peningkatan mutu dengan silang-balik dilakukan pada lele dumbo, mengingat sebagai ikan hibrida yang introduksi ke Indonesia, tanpa disertai dengan induk murninya, sehingga tidak dapat dilakukan proses hibridisasi.
Proses silang-balik dilakukan dengan cara mengawinkan induk lele yang ada saat ini dengan tetuanya sehingga walaupun program ini termasuk proses silang-dalam namun dapat mendekatkan kembali variasi genetik yang dipunyai tetuanya.
Rustidja (1999) menyarankan untuk melakukan perkawinan induk saat ini dengan generasi pertama hingga generasi ketiga.
Upaya perbaikan tersebut telah dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi sejak tahun 2000 dan telah menghasilkan lele SANGKURIANG yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik.
Hasil perekayasaan ini menghasilkan “Lele SANGKURIANG” yang sudah dilepas sebagai varietas unggul dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/MEN/2004 tanggal 21 Juli 2004.
Lele SANGKURIANG memiliki fekunditas dan pertumbuhan yang lebih tinggi serta tingkat konversi pakan yang lebih rendah dibandingkan dengan lele SANGKURIANG yang saat ini beredar di masyarakat (Tabel 1).
No | Karakter | Lele Sangkuriang | Lele Dumbo |
I. | Karakter Reproduksi | ||
I.1. | Kematangan gonad pertama (bulan) | 8 – 9 | 4 – 5 |
I.2. | Fekunditas (butir/kg induk betina) | 40,000 – 60,000 | 20,000 – 30,000 |
I.3. | Diamater telur (mm) | 1.1 – 1.4 | 1.1 – 1.4 |
I.4. | Lamanya waktu inkubasi telur pada suhu 23 oC – 24 oC (jam) | 30 – 36 | 30 – 36 |
I.5. | Lamanya kantung telur terserap pada suhu 23 oC – 24 oC (hari) | 4 – 5 | 4 – 5 |
I.6. | Derajat penetasan telur (%) | > 90 | > 80 |
I.7. | Panjang larva umur 5 hari (mm) | 9.13 | 9.13 |
I.8. | Berat larva umur 5 hari (mg) | 2.85 | 2.85 |
I.9. | Sifat larva | Tidak kanibal | Tidak kanibal |
I.10. | Kelangsungan hidup larva (%) | 90 – 95 | 90 – 95 |
I.11. | Pakan alami larva | Moina sp.Daphnia sp.Tubifex sp. | Moina sp.Daphnia sp.Tubifex sp. |
II. | Karakter Pertumbuhan | ||
II.1. | Pertumbuhan harian bobot benih umur 5 hari – 26 hari (%) | 29.26 | 20.38 |
II.2. | Panjang standar rata-rata benih umur 26 hari (cm) | 3 – 5 | 2 – 3 |
II.3. | Kelangsungan hidup benih umur 5 hari – 26 hari (%) | > 80 | > 80 |
II.4. | Pertumbuhan harian bobot benih umur 26 hari – 40 hari (%) | 13.96 | 12.18 |
II.5. | Panjang standar rata-rata benih umur 40 hari (cm) | 5 – 8 | 3 – 5 |
II.6. | Kelangsungan hidup benih umur 26 hari – 40 hari (%) | > 90 | > 90 |
II.7. | Pertumbuhan harian bobot pada pembesaran selama 3 bulan (%) | 3.53 | |
II.8. | Pertumbuhan harian bobot calon induk (%) | 0.85 | |
II.9. | Konversi pakan pada pembesaran | 0.8 – 1.0 | > 1 |
III. | Toleransi terhadap Lingkungan | ||
III.1. | Suhu (oC) | 22 – 34 | 22 – 34 |
III.2. | Nilai pH | 6 – 9 | 6 – 9 |
III.3. | Oksigen terlarut (mg/l) | > 1 | > 1 |
IV. | Toleransi terhadap Penyakit | ||
IV.1. | Intensitas Trichodina sp. Pada pendederan di kolam (individu) | 30 – 40 | > 100 |
IV.2. | Intensitas Ichthiophthirius sp. Pada pendederan di kolam (individu) | 6.30 | 19.50 |
Saya memfokuskan usaha
BalasHapuspada
pembenihan bibit lele
sangkuriang.
Bagi yang membutuhkan
bibit lele
sangkuriang. Untuk wilayah
Solo dan
sekitarnya saya antar gratis.
Bibit
berkualitas karena dari
indukan
bersertifikat dari BBAT. Kami
siap
membantu Anda sukses
dalam
berternak lele. Konsultasi
gratis.
Saya tidak menjual bibit
saja. Bibit
yg saya kirim. Bila sudah
panen akan
saya beli bila Anda kesulitan
menjual. Hub
085642057643
alamat Ngablak Rt/Rw
03/06,
Karangmojo, Tasikmadu,
Karanganyar, Solo,
Surakarta